
Chico Audra Dwi Wardoyo akhirnya resmi mundur dari Pelatnas PBSI (Foto: Dok.PBSI)
LUDUS – Isu itu sempat berembus, hampir tak terdengar di antara riuhnya Piala Sudirman 2025. Nama Chico Aura Dwi Wardoyo tiba-tiba disebut-sebut akan meninggalkan pelatnas. Rumor itu cepat menyebar, namun kala itu PBSI belum memastikan, hanya memberi jawaban diplomatis: “Kami akan carikan program terbaik untuk Chico.”
Tak butuh waktu lama, desas-desus itu menjadi nyata. Chico benar-benar mengundurkan diri dari pelatnas. Yang mengejutkan, tak hanya dia—Jonatan Christie, sosok sentral tunggal putra Indonesia selama satu dekade terakhir, turut mengambil langkah serupa. Keduanya menyiapkan jalur baru: menjadi pebulutangkis profesional di luar sistem pelatnas.
Semua itu akhirnya dikonfirmasi secara resmi pada 15 Mei 2025, dalam sebuah jumpa pers yang diadakan PBSI di pelatnas Cipayung. Di hadapan para wartawan yang diundang khusus, Jonatan dan Chico menyampaikan keputusan mereka sendiri—tanpa perantara, tanpa keraguan.
Baca Juga: Chico Aura Dwi Wardoyo dan Sebuah Kekalahan yang Tak Selesai

Jonatan Christie menyusul Chico mundur dari Pelatnas PBSI (Foto: Dok. PBSI)
Jonatan dan Chico tak pergi dengan kemarahan. Tidak dengan kekecewaan. Mereka justru pergi dengan rasa syukur.
“Saya ingin menegaskan bahwa komitmen saya untuk membela Indonesia tetap utuh. Sama kuatnya. Tidak berubah.”
Jonatan bukanlah nama baru di dunia bulu tangkis. Ia pertama kali bergabung ke pelatnas Cipayung pada awal 2013, saat usianya baru 15 tahun. Remaja kurus dengan smash keras dan senyum percaya diri itu dengan cepat mencuri perhatian. Namanya melesat sebagai simbol kebangkitan tunggal putra Indonesia.
Puncaknya datang di tahun 2018, saat di tengah gemuruh Istora Senayan, ia menggenggam medali emas Asian Games—dengan kaus disobek, dada dibuka, dan air mata yang tumpah.
Namun, prestasinya tak berhenti di sana. Ia membawa Indonesia menjuarai Piala Thomas 2020 di Aarhus, Denmark—sebuah kejayaan yang mengakhiri puasa gelar selama 19 tahun. Ia juga meraih gelar juara di New Zealand Open (2019), Swiss Open (2022), dan Indonesia Masters (2023). Dalam lebih dari satu dekade di pelatnas, Jonatan tak hanya menjadi juara, tapi juga menjadi figur pemimpin.

Chico Aura Dwi Wardoyo bergabung ke pelatnas PBSI pada 2017 (Foto: Dok. PBSI)
Begitu juga Chico, yang tak pernah jauh dari bayang-bayang seniornya. Tapi di bawah naungan pelatnas, ia menemukan ruangnya sendiri. Ia mungkin tak selalu menjadi headline, tapi konsistensinya membangun fondasi penting untuk regenerasi tunggal putra Indonesia.
Chico bergabung ke pelatnas pada 2017. Butuh waktu, disiplin, dan ketekunan luar biasa sebelum akhirnya ia bersinar. Titik baliknya datang di Kejuaraan Asia 2022, saat ia mempersembahkan medali perunggu—capaian langka bagi tunggal putra Indonesia dalam ajang kontinental. Puncaknya terjadi di Malaysia Masters 2022. Kala itu, Chico tampil sebagai underdog, namun satu demi satu lawan tangguh ia singkirkan. Di final, ia berdiri sebagai juara, sekaligus mempersembahkan gelar World Tour perdananya. Ia juga turut menjadi bagian penting skuad Piala Thomas Indonesia 2022 dan 2024.
Di pelatnas, Chico bukan hanya berkembang sebagai atlet, tapi juga sebagai pribadi yang matang. Ia belajar dari kekalahan, bangkit dari cedera, dan tumbuh menjadi pemain dengan karakter kuat di lapangan. Dalam senyumnya yang tenang, tersimpan daya ledak seorang petarung.
“Terima kasih saya atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjadi pemain Pelatnas selama 8 tahun dari tahun 2017 sampai sekarang. Terima kasih yang sebesar–besarnya kepada PBSI dan kepada Ketua Umum Bapak Fadil Imran, pengurus, pelatih dan teman-teman atlet yang sudah selalu mendukung saya selama menjadi atlet,” kata Chico.

“Hari ini, Jonatan dan Chico menyampaikan kepada kami niat untuk memasuki fase baru karir mereka, menjalani model latihan berbasis klub, di luar sistem pelatnas,” ucap Taufik Hidayat, Wakil Ketua Umum I PP PBSI. Sosok yang juga pernah berdiri di persimpangan serupa.
“PBSI menghormati keputusan ini. Karena kami melihat mereka tidak hanya sebagai atlet, tetapi juga sebagai manusia seutuhnya. Kami tetap hadir untuk mereka—dalam koordinasi teknis, pembinaan, dan dukungan penuh saat mereka membawa nama Indonesia di panggung dunia.”
“Proses ini tidak mendadak,” kata Jonatan. “Kami sudah bicara sejak akhir tahun lalu. Dan PBSI sangat terbuka. Diskusinya hangat, saling menghargai. Ini transisi yang disepakati bersama.”
Dalam model baru ini, Jonatan dan Chico akan lebih fleksibel dalam memilih turnamen, pelatih, serta tempat berlatih. Tetapi keduanya akan tetap mewakili Indonesia di ajang resmi: Thomas Cup, SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade.
“Jojo dan Chico tetap berada di bawah naungan PBSI,” tegas Taufik. “Mereka tetap akan memperkuat tim nasional Indonesia. Mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari keluarga besar PBSI.”

Dan mungkin, karena pada titik tertentu, setiap pejuang butuh cara baru untuk mencintai rumah yang sama. Kita tak sedang mengantar kepergian. Kita menyambut kembalinya mereka, lewat jalur berbeda, dengan semangat yang masih sama. Mereka pergi dari pelatnas, tapi tidak dari Indonesia.
Karena di setiap lompatan, smash, dan teriakan kemenangan, kita tahu: Jojo dan Chico masih berjuang untuk Merah Putih. Mereka hanya memilih mendewasa dengan caranya sendiri. (*)