Christian Hadinata, Mentor Ulung Para Peraih Emas Olimpiade

 

Credit foto : Ludus.id/Pratama Yudha
Pelatih badminton Christian Hadinata dalam sebuah wawancara.

Siapa tak kenal Christian Hadinata. Pebulutangkis yang namanya mahsyur tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.

Bagaimana tidak, dia merupakan satu dari sekian banyak pebulutangkis di dunia yang bisa merasakan sukses tak hanya ketika menjadi pemain, tetapi juga saat melatih.

Semasa aktif bermain di era 70-80an, Christian merupakan andalan Merah Putih di sektor ganda, baik putra maupun campuran. Pun, ketika melatih, dia berhasil mengantarkan atletnya meraih juara.

Beberapa di antaranya merupakan peraih medali emas Olimpiade, sebut saja pasangan Ricky Soebagja/Rexy Mainaky, Candra Wijaya/Tony Gunawan, dan Markis Kido/Hendra Setiawan.

Kini, setelah meninggalkan pelatnas sekitar 7 tahun lamanya, Christian kembali menginjakkan kakinya di PBSI. Dia bergabung dengan tim Ad Hoc Olimpiade Paris 2024 dan mengemban tugas sebagai Direktur Teknik.

Christian bersama sejumlah legenda bulutangkis Indonesia seperti Taufik Hidayat, Susy Susanti, Candra Wijaya, Greysia Polii, Tontowi Ahmad, dan Liliyana Natsir diminta PBSI untuk memantau dan memberi masukan kepada para atlet dan pelatih di pelatnas.

Kehadiran mereka diharapkan bisa membantu PBSI untuk membangkitkan performa Anthony Sinisuka Ginting cs yang tengah bersiap untuk berjuang di Olimpiade Paris 2024 agar tradisi emas tetap terjaga.

Meski usianya tak muda lagi, Koh Chris –sapaannya– sangat bersemangat dalam menjalani tugas tersebut. Baginya, ini merupakan bentuk balas jasa atas apa yang sudah diterimanya selama ini dari bulutangkis.

“Ya ini sebagai bentuk balas jasa saya kepada bulutangkis dan lebih luasnya kepada PP PBSI. Kalau dulu saya main, saya coba membalasnya dengan prestasi. Pun ketika jadi pelatih, bagaimana saya bisa membina atlet jadi juara. Sekarang ya sama, walaupun sudah gak jadi pelatih, saya coba bantu dengan tenaga, pikiran, dan masukan yang menjadikan atlet-atlet lebih baik,” kata Christian Hadinata saat ditemui Ludus.id.

Christian bersama tim Ad Hoc yang sudah mulai bekerja sejak Desember 2023 telah mengidentifikasi sejumlah kendala yang disinyalir membuat prestasi tim bulutangkis Indonesia menurun di sejumlah ajang sepanjang tahun lalu.

Salah satu faktor utamanya adalah masalah mental. Sedari awal tim Ad Hoc sudah menyertakan tim yang menangani masalah psikologis untuk mengatasi kendala tersebut.

“Memang dari sisi saya itu penting sekali penanganan dari sisi psikologi olahraga. Itu yang utama karena dari situ membentuk rasa atau tekad yang kuat kepada atlet. Itu yang diobati dulu karena selama ini merasa kurang,” ujar Christian.

“Untuk unsur teknik dan fisik sudah oke. Tinggal unsur mentalnya itu bagaimana anak-anak masuk ke lapangan punya tekad dan daya juang untuk menang,” jelasnya.

Credit foto : Dokumentasi PB Djarum
Pelatih badminton Christian Hadinata memberikan keterangan dalam sebuah acara.

Terlambat jadi Atlet

Tak seperti atlet kebanyakan, Christian Hadinata terbilang terlambat memulai karier sebagai atlet. Pria kelahiran Purwokerto, 11 Desember 1949, itu baru membuka jalan sebagai pebulutangkis pada usia 20 tahun.

Sang kakak menjadi sosok yang berjasa memasukkannya ke klub bulutangkis saat berlibur di Bandung, yakni PB Mutiara Cardinal.  Kala itu, sang kakak meyakinkannya untuk serius menekuni bulutangkis.

Padahal, Christian kala itu hanya datang mengunjungi kakaknya yang tinggal di Bandung selagi menikmati waktu libur sebelum masuk ke Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Akhirnya, Christian malah keterusan dan berujung menjadi atlet bulutangkis nasional.

Sejatinya, bulutangkis bukanlah olahraga utama yang ditekuni Christian sedari kecil. Dia justru lebih menikmati bermain sepak bola.

Pasalnya, kala itu bulutangkis terbilang olahraga yang mahal. Dengan ekonomi keluarga yang sederhana, Christian lebih memilih sepak bola.

“Saya memang memiliki keinginan untuk jadi pebulutangkis sedari masih tinggal di Purwokerto. Namun, dengan kondisi keluarga yang sederhana, saya hampir tak bisa lanjut bermain bulutangkis karena butuh biaya yang banyak,” kata Christian.

Sembari tertawa, pria yang kini berusia 74 tahun itu mengingat dirinya bisa lebih sering bermain bulutangkis lantaran diajak oleh temannya yang kondisi ekonominya lebih mapan. “Saya sampai SMA itu main bulutangkis cuma kadang-kadang saja, pas diajak oleh teman yang lebih mapan. Jadi, dia yang modalin,” ujarnya.

Akhirnya, pada 1969, Christian sudah mulai serius menjalani karier sebagai pebulutangkis. Kesempatan berkuliah di Universitas Jenderal Soedirman pun ditinggalkannya. Namun, dia meneruskan pendidikannya dengan masuk ke Sekolah Tinggi Olahraga (STO) di Bandung.

“Dulu sewaktu saya masih di Mutiara Cardinal, ada dosen di STO yang bernama Pak Sukartono. Saya kemudian dikenalkan dengan Drs Irsyan yang waktu itu menjabat sebagai Dekan STO,” tutur Christian.

“Akhirnya, saya ikut tes masuk STO. Saya diminta datang ke GOR Saparua. Saya dites di situ, disaksikan oleh Pak Irsyan dan saya lulus masuk STO,” jelasnya.

Christian mengatakan dirinya sudah diarahkan bermain di sektor ganda putra sejak masih bergabung bersama Mutiara Cardinal. Kala itu persaingan di sektor tunggal putra sangat berat lantaran masih dihuni sejumlah nama besar seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, dan Iie Sumirat.

Credit foto : Dokumentasi PB Djarum
Pelatih badminton Christian Hadinata memberikan keterangan dalam sebuah acara.

“Saya dulu sempat main single dan ganda, tetapi akhirnya lebih diarahkan ke ganda putra karena di tunggal putra masih banyak dihuni nama besar. Untuk tembus pelatnas jalurnya lebih berat,” ucap Christian.

Pilihan Christian untuk berjuang di sektor ganda putra akhirnya membuahkan hasil setelah mampu merebut juara di Kejurnas 1970 yang diselenggarakan di Yogyakarta. Kala itu, dia berpasangan dengan Atik Jauhari.

Di tahun yang sama, Christian dipanggil untuk menjalani pelatnas oleh PBSI. Namun, dia tak lagi dipasangkan dengan Atik melainkan dengan Ade Chandra.

Ternyata, ramuan tersebut berhasil membuat performa Christian meledak. Dia langsung meraih juara di Kejuaraan Asia 1971.

“Pertama kali juara internasional di Kejuaraan Asia 1971. Saya dapat dua kan, dari ganda campuran dan beregu putra. Yang ganda campuran bareng Retno Koestijah. Kalau yang ganda putra dapat medali perunggu bersama Ade Chandra,” ujar Christian.

Namun, bukan itu pencapaian yang paling berkesan bagi Christian selama jadi pebulutangkis. Justru, dia menilai juara All England 1972 lah yang paling membekas baginya.

Tak heran, sebab sebelum bulutangkis dipertandingkan di Olimpiade Barcelona 1992, All England merupakan turnamen yang paling bergengsi dengan latar belakang sejarah yang dimilikinya.

“Itu pertama kali saya ikut All England di 1972 dan langsung juara. Itu jadi yang paling berkesan karena di tahun itu kami jadi satu-satunya ganda Indonesia yang ikut All England, gak diunggulkan, gak masuk seeding, tapi bisa juara,” ujar Christian.

Momen berkesan lainnya bagi Christian terjadi di tahun 1980. Kala itu, dia tengah bersiap mengikuti Kejuaraan Dunia yang dilangsungkan di Istora Senayan, Jakarta. Namun, terjadi sesuatu yang tak diharapkan satu minggu jelang turnamen itu digelar.

Sang istri, Yoke Anwar, mengalami musibah setelah terpeleset dan kakinya mengalami keretakan. Yang paling mengkhawatirkan, insiden itu terjadi ketika sang istri tengah hamil tua dan sudah memasuki masa-masa melahirkan.

Pikiran Christian pun berkecamuk dan sudah tak fokus mempersiapkan diri untuk tampil di kejuaraan tersebut. Apalagi, itu merupakan anak pertamanya. Dia pun sempat meminta untuk mundur.

“Namun, saya tak diizinkan mundur oleh Pak Sudirman yang jadi Ketua Umum PBSI waktu itu. Dia bilang saya harus tetap main dan tak perlu khawatir soal kondisi istri karena dia yang tanggung jawab dan menyiapkan fasilitas jika istri saya mau melahirkan,” kata Christian.

“Untungnya, istri saya tidak apa-apa. Kakinya hanya digips,” tambahnya.

Justru, di tengah pikirannya yang tak fokus sepenuhnya pada Kejuaraan Dunia, Christian justru mampu tampil apik dengan merebut dua medali emas di sektor ganda putra bersama Ade Chandra dan di sektor ganda campuran bersama Imelda Wiguna. Anaknya pun lahir seminggu setelah Kejuaraan Dunia usai.

Di situ, Christian membuktikan tanggung jawab dari seorang atlet yang harus berjuang semaksimal mungkin dalam kondisi apa pun. Kendala yang terjadi di luar lapangan bukanlah hambatan yang membuat prestasi jadi menurun.

Itu juga yang membuatnya jadi atlet ganda legendaris Indonesia dan dunia di era 70-80an dengan berbagai prestasi yang ditorehkannya. Sampai pada akhirnya dia memutuskan pensiun pada 1988.

US Open menjadi turnamen terakhirnya sebelum gantung raket. Dia menutupnya dengan manis setelah membawa pulang medali emas dari sektor ganda putra bersama Lius Pongoh dan sektor ganda campuran bersama Ivana Lie.

“Waktu itu usia saya sudah 39 tahun. Saya merasa kasihan dengan pasangan saya yang masih muda. Akhirnya, saya memutuskan untuk pensiun di tahun itu,” tutur Christian.

Bagi ayah dua anak itu, menjadi seorang pebulutangkis hebat tak selalu berkat dukungan fasilitas memadai. Dirinya dan para legenda terdahulu sudah membuktikan jika mereka bisa meraih prestasi dengan kondisi yang seadanya.

“Saya berkaca dari mentor dan pionir terdahulu, seperti Tan Joe Hok, Eddy Yusuf, Tan King Gwan, Olich Solihin, mereka-mereka yang membuat bulutangkis Indonesia hebat. Tan Joe Hok jadi juara All England dan Piala Thomas pertama kali walaupun dengan kondisi seadanya. Itulah yang jadi inspirasi saya memilih bulutangkis,” ungkap dia.

Credit foto : Dokumentasi PB Djarum
Pelatih badminton Christian Hadinata menjadi pemandu bakat dalam sebuah ajang.

Pencetak Juara Olimpiade

Berhenti jadi atlet tak membuat sumbangsih Christian terhadap bulutangkis nasional hilang. Dia justru melanjutkan kiprahnya dengan beralih menjadi pelatih.

Ya, selepas gantung raket, Christian tak serta-merta beristirahat dari lapangan. Namun, dia tak langsung menerima tawaran sebagai pelatih pelatnas. Christian memilih untuk “magang” lebih dulu dengan menjadi pelatih di PB Djarum.

Dua tahun melatih di klub, Christian akhirnya menerima tawaran untuk menjadi pelatih pelatnas PBSI pada 1990 untuk memimpin persiapan para atlet yang akan berjuang di Olimpiade Barcelona 1992.

“Saya gak mau selesai jadi atlet saja. Saya tetap mau berkontribusi tapi tidak berani langsung melatih di pelatnas,” ujar Christian.

Selama dua tahun, Christian menempa ilmu kepelatihannya dengan sangat baik. Dia melengkapi kekurangannya dan terbukti bisa menciptakan tiga pasangan peraih medali emas Olimpiade, yakni Ricky Soebagja/Rexy Mainaky, Candra Wijaya/Tony Gunawan, dan Markis Kido/Hendra Setiawan.

“Selama magang saya berusaha melengkapi, tidak hanya soal wawasan, tetapi juga teknis dan non teknisnya. Saya banyak belajar dari pakar-pakar yang sebelumnya menangani saya,” ucap Christian.

Pria yang namanya tercantum di Badminton Hall of Fame itu pun tak segan menyebut momen Ricky/Rexy juara Olimpiade Atlanta 1996 sebagai yang paling memorable baginya sebagai pelatih. Sebab, itu jadi pertama kalinya Indonesia bisa meraih juara ganda putra di Olimpiade setelah pada edisi sebelumnya sukses meraih medali emas lewat sektor tunggal putra dan putri.

“Mengantarkan Ricky/Rexy juara tentunya (jadi momen yang paling manis). Lalu, Candra/Tony di Olimpiade Sydney 2000,” ujar Christian.

“Waktu tahun 1992 kan dapat medali perak dari Eddy Hartono/Rudy Gunawan. Saya bilang ke Ricky sama Rexy harus dapat emas ya, jangan sama atau sampai turun prestasinya,” jelasnya.

Berkaca dari pencapaiannya terdahulu, Christian pun optimistis jika tim Ad Hoc bisa berkontribusi untuk membantu meningkatkan performa Jonatan Christie cs agar bisa berprestasi di Olimpiade Paris 2024.

“Yang terpenting pola pikir anak-anak harus diluruskan lagi. Mereka itu kan sekarang mengejar (peringkat). Jadi, dengan usaha yang lebih baik, paling tidak kejar sampai sejajar dulu, baru berusaha melewati. Lawan kan juga lebih tertekan karena posisinya dikejar,” tutur dia.


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.