Dengan Akreditasi, Dua Anak Muda Turut Sukseskan ASEAN Para Games 2022

“Sampai saat ini, saya merasa akreditasi itu seperti ‘aliean’. Enntah memang orang banyak yang engga tahu atau terlalu menyederhanakan. Akreditasi cuma kartu, cuma nyetak-nyetak aja gampang. Padahal di balik itu semua, ada masalah akses controlnya gimana, semua orang dikasih aksesnya apa”

Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id

Ada dua anak muda di ASEAN Para Games Solo 2022, yang tiba-tiba banyak dicari orang. Pertama, Aryo Febrian Moedanton, berusia 32 tahun, anak muda yang bertanggung jawab soal akreditasi. Bukan secara langsung. Tapi ia sekarang hanya supervisi. Karena Direktur Akreditasi Asian Para Games Jakarta 2018 ini, sekarang adalah Direktur Akreditasi ASEAN Para Sport Federation (APSF). Dan yang bertanggungjawab secara langsung sekarang adalah Ananto Prasetyo, juniornya, yang sekarang sebagai Kepala Bidang Akreditasi di INASPOC (panitia besar ASEAN Para Games). Mereka berdua, mengutarakan bagaimana dinamika mengurus akreditasi.

Aryo punya peran penting dalam memastikan integritas database kepesertaan dan juga akses kontrol yang langsung terkait erat dengan keamanan penyelenggaraan. Dengan tanggung jawab tersebut, Aryo tak hanya menjadi tumpuan dari APSF, tapi juga seluruh negara di Asean yang berlaga di Asean Para Games Solo 2022.

Tugas dari tim akreditasi ini salah satunya melakukan pendataan. Selain pendataan dari tiap kontingen, tim akreditasi juga melakukan pengecekan data untuk seluruh bidang, baik panitia, media, pengisi acara, vendor dan yang lainnya. Aryo menjelaskan di perhelatan kali ini, antara APSF dan INASPOC bekerja sebagai mitra.

“Keterlibatan saya di sini bukan pelaksana tapi lebih ke supervisi karena kita menaungi. Saya berkoordinasi kepada kepala bidang akreditasi iINASPOC. Kami mitra di sini,” jelas Aryo.

Aryo menjelaskan jika bidang akreditasi memiliki peran sentral untuk terselenggarakannya sebuah acara. Namun ternyata masih banyak orang yang belum paham arti dari akreditasi itu sendiri. Hal ini dibuktikan melalui interview yang sempat ia lakukan ke beberapa volunteer (relawan). “Akreditasi itu masih banyak yang bingung. Waktu saya interview ada 14 orang, 7 orang bilang kayak akreditasi universitas. Akreditasi di sini kan engga begitu. Di sini kita akreditasi orang dari yang engga jelas itu siapa menjadi dia itu siapa. Misal si A, oh dia asisten direktur, dia aksesnya ini, si B jurnalis, oh berarti akreditasnya apa. Jadi ada klasifikasinya. Nah itu akreditasinya. dan kebanyakan orang belum mengerti itu.”

Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id

Anak muda kedua adalah Ananto Prasetyo atau Tyo panngilannya. Ia menjelaskan kalau akreditasi kali ini benar-benar menantang untuk dirinya dan tim. Waktu yang begitu singkat memaksa dirinya bekerja lebih cepat untuk menyelesaikan segala hal yang sifatnya administratif agar acara bisa berjalan dengan semestinya dan sesuai. “Challengenya banyak ya. Pertama dari administrasi. Kita di sini dari Maret akhir tanpa ada SK. Waktu begitu mepet membuat kita mengambil SDM yang sudah pengalaman. Kalau pun tidak, tetap kita kasih supporting staff pernah kerja di bagian sejenis dan memang punya kapabilitas. Jadi itu tantangan besarnya buat saya.”

Aryo yang mentor dari Tyo sangat serius dalam bekerja sama di multievent difabel terbesar se-Asia Tenggara ini. Dia menyebut jika data atlet merupakan hal krusial yang sangat diperlukan tim akreditasi guna menyelesaikan database tim akreditasi. “Data atlet itu penting bukan hanya untuk keamanan diri mereka dan akses mereka, tapi semua recordnya mereka, mereka menang dimana aja, kalau bisa digunakan untuk kompetisi selanjutnya. Itu masuk kedalam database akreditasi,” jelas Aryo lagi.

Pengelolaan data dengan waktu yang begitu singkat menjadi apresiasi tersendiri bagi tim akreditasi. Ada 1.242 atlet yang datanya harus mereka urus. Bukan angka yang sedikit bagi persiapan yang dilakukan hanya dalam tempo kurang lebih 3 bulan.

Menjadi bagian dari tim akreditasi memanglah tidak mudah. Berbagai kendala datang selisih berganti. Ada tiga fokus utama yang menjadi bagian penyeleksian masalah akreditsi seperti yang diutarakan Aryo dan Tyo. “Pertama itu kedisiplinan dari orang-orang yang mau kita akreditasi”

Selain kedisiplinan, dua poin lagi adalah  mendesain akses mapping venue dan day to day (hari ke hari). Kedua poin ini akan menjadi kendala jika banyaknya perubahan yang terjadi. Dalam hal ini, tim akreditasi akan bekerja keras untuk beradaptasi serta cepat tanggap dalam mengubah data. “Kedua Mapping Venue ya. Karena persiapan mendesak jadi venue banyak berubah. Kemudian day to day. Dinamika di lapangan pasti berbeda sama apa yang kita rencanakan”

Menghadapi banyak kendala dalam bekerja, sebagai tim akreditasi, tidak memadamkan api semangat Aryo dan Tyo dalam membuktikan jika anak muda bisa. Meski adakalanya terbesit pikiran untuk menyudahi keikutsertaan di tim akreditasi. Tetapi ego yang tinggi membuat mereka berdua tidak kapok dan memikirkan regenerasi tongkat estafet yang harus mereka bentuk serta rawat dalam hal ini.

Tim akreditasi APSF dan INASPOC (Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id)


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.