
Hidetoshi Nakata, mantan pemain timnas Jepang, yang kini menjadi pengusaha sake.
Pada suatu masa, Liga Serie A Italia pernah jadi tujuan utama bagi para pesepak bola hebat dari seluruh penjuru bumi. Menjadi pemain yang bersinar di Serie A adalah sebuah keistimewaan. Seorang pesepak bola harus betul-betul spesial untuk masuk dalam perbincangan bersama para pemain yang kini telah menjadi legenda.
Di era akhir 1990-an dan awal 2000-an, nama-nama seperti Gabriel Batistuta, Ronaldo Nazario, Zinedine Zidane, Alessandro Del Piero, dan Francesco Totti sedang mengguncang Serie A. Namun, satu pemain dari Asia berhasil masuk dalam kategori elite itu. Dia adalah Hidetoshi Nakata.
Olimpiade 1996 dan Piala Dunia 1998 jadi gerbang bagi para pesepak bola Jepang untuk merambah Eropa. Nakata termasuk di dalamnya. Usai tampil mengesankan di Piala Dunia 1998, pemain terbaik Jepang 1997 itu mendapat tawaran dari berbagai klub Eropa. Dari sekian banyak tawaran, Nakata malah memilih Perugia, klub yang baru promosi ke Serie A.
“Sebetulnya saya mendapat beberapa tawaran dari klub Prancis dan Inggris. Saya tak tahu kenapa, untuk saya Serie A seperti sepak bola sebenarnya,” jelas Nakata kepada FIFA TV.
Nakata, yang saat itu berusia 21 tahun, diboyong dari Bellmare Hiratsuka dengan mahar 4 juta euro. Kepindahan itu menjadikan Nakata sebagai pemain kedua asal Jepang di Serie A. Sebelumnya ada Kazuyoshi Miura yang berstatus pemain pinjaman di klub Genoa pada musim 1994-1995.
Sebagai klub kecil yang baru naik ke kasta tertinggi, tidak banyak informasi yang bisa digali dari I Grifoni—julukan Perugia. Itulah yang dialami Juventus, sang raksasa Italia, ketika bersua Perugia dalam pekan perdana Serie A 1998-1999, 13 September 1998.

Di babak pertama, Juventus sempat unggul tiga gol tanpa balas. Saat kepala para fans tuan rumah mulai tertunduk, Nakata kemudian menunjukkan sihirnya pada babak kedua dengan mencetak dua gol. Perugia kalah 3-4 dari Juventus di akhir laga, tetapi Nakata sukses mengejutkan para bintang Juventus. Sang samurai berambut merah langsung jadi idola baru bagi publik Perugia.
Terbukti, gelandang asal negeri sakura itu tampil sebanyak 33 kali di musim tersebut dan jadi top scorer timnya dengan koleksi 10 gol. Permainan enerjik, teknik, dan keberanian pria bertinggi 175 centimeter itu membuat pecinta sepak bola terkagum-kagum.
Tawaran pun kembali datang. Satu setengah musim kemudian, saat bursa transfer musim dingin, Nakata pindah ke AS Roma. Penggemar komik “Captain Tsubasa” itu menjelma elemen penting saat membawa I Lupi menjuarai Serie A musim 2000-2001.
Karena kalah bersaing dengan Francesco Totti “Sang Pangeran Roma”, Nakata kemudian meninggalkan Olimpico dan melanjutkan petualangannya. Nakata lantas berseragam Parma, Bologna, lalu Fiorentina. Dia sempat menjadi pemain pinjaman di klub Premier League Inggris, Bolton Wanderers di musim 2005-2006 hingga memutuskan pensiun.

Kehilangan hasrat, mencari arti hidup
Meski garang di lapangan, Nakata adalah sosok yang pendiam. Di luar lapangan, dia dikenal sebagai seorang pemikir. Para rekannya di Perugia takjub dengan kebiasaan Nakata membaca buku jelang pertandingan.
Seusai laga atau saat berlibur, Nakata kerap bepergian sendirian berkeliling kota dan mengeluarkan kameranya untuk mengabadikan momen atau tempat-tempat yang menarik minatnya. Nakata menciptakan kebahagiaannya sendiri laiknya penganut stoikisme.
Maka, ketika tidak lagi menemukan kebahagiaan dalam sepak bola, Nakata memutuskan berhenti. Dia memilih untuk meninggalkan sepak bola seusai Piala Dunia 2006 di Jerman.
Lapangan Stadion Westfalen, Dortmund, jadi saksi ketika Nakata menangis sejadi-jadinya setelah Jepang dipastikan tersingkir usai kalah 1-4 dari Brazil di laga terakhir babak grup pada 22 Juni 2006. Air matanya tidak terbendung. Kecamuk dalam pikiran yang mendorong Nakata untuk gantung pada awal 2006 akhirnya menjadi kenyataan.
Keputusan pensiun itu mengejutkan banyak orang. Saat itu, Nakata masih berusia 29 tahun. Dia sedang dalam usia emas sebagai pesepak bola dan tentu masih bisa bermain di level atas untuk setidaknya lima tahun lagi. Namun, keputusan Nakata sudah bulat.

“Sejak saya lahir, hidup berarti melakukan apa yang saya sukai. Saya jatuh cinta kepada sepak bola sejak masih kecil dan saya beruntung karena bisa melakukan yang terbaik hingga pensiun,” ujar Nakata.
Nakata kehilangan hasrat setelah melihat sepak bola berubah jadi industri. Dia muak menyaksikan para koleganya lebih tergiur kepada uang ketimbang kenikmatan bermain sepak bola itu sendiri. Batinnya tidak bisa berdamai dengan fakta tersebut.
Tawaran untuk menjadi komentator sepak bola, juga model berbagai produk pun berdatangan menghampiri Nakata yang baru pensiun. Alasannya jelas: Nakata berparas tampan, berpenampilan stylish, menguasai public speaking, dan cerdas. Namun, beragam tawaran itu tidak dia tanggapi.
Dalam diri Nakata, ada gejolak keinginan yang begitu besar untuk mencari arti dari hidupnya. Sesuatu yang tidak dia dapatkan lagi dari si kulit bundar.
Demi menjaga bara jiwanya tetap menyala, Nakata memutuskan untuk melakukan perjalanan, mencari makna hidupnya setelah sepak bola.
“Dunia ini luas, dengan banyak tempat hebat dan orang-orang hebat. Kenapa harus diam di satu tempat?” ujar Nakata.

Sake
Setelah rehat sejenak, Nakata menyadari dirinya tidak mengenal Jepang. Maka, dia berkeliling Jepang dan melintasi 47 prefektur, menempuh lebih dari 200 ribu kilometer, bertemu lebih dari 2.000 orang dan tempat.
Nakata juga dikabarkan mengunjungi lebih dari 100 negara demi melihat budaya dan tradisi yang kaya. Dari Tanzania hingga Turkmenistan. Konon Nakata bahkan pernah bertemu dengan tawanan perang di Iran, untuk berbincang mengenai makna hidup.
Setelah tujuh tahun berkeliling dunia, Nakata akhirnya menemukan jawaban. Sake, minuman beralkohol yang berasal dari hasil fermentasi beras, adalah apa yang dia cari selama ini.
Nakata mengunjungi lebih dari 400 produsen sake secara total, yaitu sekitar 40% dari total pabrik yang beroperasi di Jepang.
“Ada banyak kerajinan tangan dan produk pertanian menakjubkan di seluruh Jepang, tapi saya sangat terpesona dengan keunikan sake. Ini khas Jepang. Dibuat dengan cetakan koji nasional Jepang selama 2000 tahun terakhir. Saya pikir sake layak mendapatkan lebih banyak perhatian global,” kata pria yang kerap disebut Beckham-nya Jepang tersebut.
Nakata menemukan permasalahan penting dalam memopulerkan sake di luar negeri.
“Misalnya, suatu hari saya sangat menghargai rasa sake di tempat pembuatan bir. Lalu saya pergi ke restoran di luar negeri dan memesan sake yang sama, ternyata rasanya tidak seperti yang saya nikmati di tempat pembuatan bir,” katanya.
Ini sangat memprihatinkan bagi industri sake. Produksi sake mencapai puncaknya pada tahun 1973 dan konsumsi dalam negeri menurun drastis sejak saat itu akibat kekurangan tenaga kerja dan pasar minuman yang semakin kompetitif, serta gaya hidup baru generasi muda yang mengurangi konsumsi alkohol.
Dari 4.000 pabrik bir pada tahun 1960-an, kini tinggal 1.000 pabrik. Pabrik sake yang tersisa ini sebagian besar adalah usaha kecil milik keluarga. Mereka sibuk melayani pasar lokal selama berabad-abad, dengan fokus pada produksi sake berkualitas tinggi. Itu sebabnya banyak dari mereka tidak memiliki website bahkan dalam bahasa Jepang.
Di sinilah Nakata, yang memiliki jiwa wirausahawan, menemukan tujuan hidupnya yang baru: membangun infrastruktur pabrik sake agar berhasil memasuki pasar luar negeri.
Pada 2014, Nakata membuat produk sake sendiri yang diberi nama “N”. Sake premium ini dibanderol 1.000 dolar Amerika (Rp15,5 juta) per botol. “N” dibuat ekslusif hanya 1.000 botol per tahun dan cuma ada di restoran-restoran tertentu di luar Jepang.
Melalui “N”, Nakata punya misi pribadi untuk menaikkan derajat sake di mata internasional, menciptakan budaya minum yang berbeda dan menempatkan sake sejajar dengan minuman anggur (wine) dan sampanye. Salah satu caranya dengan menyediakan sebuah pendingin sake guna memudahkan restoran dan penggemar sake untuk menikmati minuman tersebut dengan temperatur terbaik.
Menurut Nakata, ada salah paham yang menyamakan sake dengan wine yang tidak masalah bila ditempatkan dalam suhu ruangan. Padahal, sake perlu disimpan di suhu minus lima derajat. Informasi seperti itulah yang ingin diperkenalkan Nakata kepada dunia.
Nakata tidak menampik awalnya dia mengalami kesulitan untuk mempromosikan sake ke luar negeri. Butuh waktu lama. Namun, dia melakukan ini tidak untuk uang atau ketenaran. Karena itu, tidak ada sukses ataupun kegagalan yang nyata.
“Pada akhirnya, saya tidak berusaha membangun bisnis atau mempromosikan produk. Saya mencoba untk mengubah budaya minum. Saya tidak tahu apakah dapat mencapai tujuan saya, tetapi ini adalah sesuatu yang sangat berarti dalam hidup saya,” tutup Nakata.