Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id

Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id
Sepuluh hari jelang Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI, yang akan digelar pada Kamis (16/2/23) pagi di Hotel Shangri-La, Jakarta, para legenda sepak bola Indonesia berkumpul dalam sebuah acara yang digagas Erwiyantoro, wartawan olahraga senior, bernama “We Are Football Family” di Pancoran Soccer Field (PSF) Jakarta.
Acara ini dimulai dengan kegiatan fun football 4×20 menit, yang melibatkan para eks Timnas Indonesia.

Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id
Semua pemain hebat yang pernah membela merah putih pada era 1970 hingga 1990-an, berkumpul tak hanya melakukan pertandingan fun football, tetapi juga ngobrol isu-isu sepak bola Indonesia, terkait organisasi, pembinaan, naturalisasi, perwasitan, kepelatihan hingga match fixing.
Para legenda itu di antaranya adalah Bambang Nurdiansyah, Asmawi Jambak, Ferril Raymond Hattu, Alexander Saununu, Maman Suryaman, Wayan Diana, Herry Kiswanto, Aun Harhara, Kamarudin Betay, Yusuf Bachtiar, Ahmad Muharyah, Budi Wahyono, Nur Alim, Yusuf Ekodono, Dede Sulaeman, Ajat Sudrajat, kiper legendaris Ronny Paslah, hingga pemain flamboyan Anjas Asmara. Pada zamannya, mereka adalah pemain-pemain hebat di perserikatan, galatama dan nasional.
Mereka berbicara, memberikan kritik dan masukan. Dengan caranya masing-masing. Dari sudut pandang mereka. Tujuannya tentu satu: Ingin sepak bola Indobesia maju dan berprestasi tim nasionalnya.
Berikut adalah petikan pernyataan dari tiga mantan pemain nasional hebat yang pernah dipunyai Indonesia, yang dirangkum dari hasil diskusi para mantan pemain tim nasional dengan wartawan peliput sepak bola nasional.


Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id
Kan ada tim usia muda, kasih ke pelatih muda kita. Shin Tae-yong cukup untuk Piala Dunia U-20 saja. Kenapa semua dikasih ke Shin Tae-yong.
Seolah-olah kita dianggap bodoh oleh mereka, apalagi pemain naturalisasi. PSSI dulu tidak ada naturalisasi. Ini pembodohan bagi kita sebagai pelaku sepak bola.
Saya sekarang membina usia muda. Mau dikemanakan mereka ini? Talenta kita sebenarnya ada, tapi sekarang dibunuh secara perlahan-lahan oleh PSSI. Sepak bola ingin bagus, ya daerah-daerah dulu dibangun.
Kalau mau mengubah ini, kita mantan pemain ini harus bersatu dulu. Jangan kemana-mana. Kita satu suara untuk perbaikan.

Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id
Organisasi PSSI sekarang menurut saya kurang baik dan kurang berkualitas. Di bawah Direktur Teknik tidak ada satu pun mantan pemain Timnas Indonesia. Padahal di mana-mana pasti ada. Contohnya di bawah Direktur Teknik, Indra Sjafri, membawahi youth education yang ada Yeyen Tumena. Lalu ada youth development, ada Mundari Karya. Youth development cuma dia sendiri, tidak ada mantan pemain lain, tidak akan jalan sampai kapan pun.
Di bawah youth development itu ada grassroot, tapi siapa yang ada di situ? Bukan pemain nasional. Mungkin untuk kasih contoh passing saja salah. Yang paling parah lagi, pembinaan tim nasional di bawah Direktur Teknik, cek saja, ada tidak mantan pemain sepak bola. Makanya jangan bicara sepak bola Indonesia mau maju.
Semua bicara lisensi, padahal yang namanya youth development dan grassroot butuh mantan pemain, jadi ada contoh untuk passing, long passing, dribel, shooting, pasti benar. Bukan dilihat lisensinya. Masalah teknikal itu penting dalam pembinaan sepak bola. Pondasi yang terkuat adalah pembinaan di usia muda. PSSI cuma mau instan saja dengan naturalisasi, padahal dalam olahraga tidak ada yang instan.
Naturalisasi adalah buruknya pembinaan sepak bola Indonesia. Kalau kualitas oke, kita juga salut. Tapi selama ini tidak ada apa-apanya tuh.

Foto: Wahyu Purwadi/ludus.id
Saya sangat kecewa lihat PSSI ini. Waktu pertandingan Vietnam di Gelora Bung Karno, saya minta tiket seperti pengemis. Yunus Nusi tidak mau ketemu saya. Yang ketemu satpam aja. Akhirnya saya dapat tiket untuk cucu, pintu 1 sama VIP Barat. Tapi saya terima saja, Dia bilang tiketnya habis.
Tapi apakah pantas, kami yang berdarah-darah membela PSSI itu, yang mana pre Olympic 173 ribu orang yang nonton. Kami dikasih tiket. Terhina!!! Terhina saya. Kok seperti ini? Rupanya di VVIP itu, Exco Exco isinya dengan keluarganya.
Saya sudah bilang sama David, Iwan Bule sudah janji sama kita, akan ngasih tiket VVIP sepanjang masa. Jadi jangan kita ngemis ngemis kesitu.
Kejadian saya lapor pada pak Jokowi nonton waktu itu. Sengaja saya membalikkan badan. Dia kasih dulu muka saya. Karena saya pakai masker, pakai topi, pakai jaket. Ada Iwan Bule di situ, ada Menpora di situ, ada Yunus Nusi.
Lima menit Presiden mau datang. Saya baru balik badan, saya buka masker, saya buka jaket saya, saya panggil “Presiden”. Macam kaya mana Presiden. Apa kata Presiden, “Iya Bang saya ke depan. Presiden bilang apa, apakah bapak-bapak kenal dengan ini orang? “Oya ini mas Anjas.”
Saya bilang sama Presiden spontan,”Pak saya tidak dikasih tiket sama orang orang ini,”
Presiden penggemar saya umur 11 tahun di Solo sana. Saya selalu ketemu Presiden, karena saya tim relawannya dia.
LAPORAN: Wepe/A.Nasution