
LUDUS – Belum banyak yang tahu, Direktur Utama Indonesian Basketball League (IBL), Junas Miradiarsyah, merupakan seorang bassist band hardcore yang aktif di skena musik underground Jakarta era 1990-an.
Dari panggung konser ke lapangan basket, perjalanan karier Junas adalah cerita lintas dunia yang jarang ditemui. Berawal dari bassist band Step Forward, kini dia memimpin liga basket profesional terbesar di Indonesia.
“Basket dan musik itu dua dunia yang sejak dulu saya jalani beriringan,” kata Junas Miradiarsyah kepada LUDUS, beberapa waktu yang lalu.
“Sejak SD sudah main basket, masuk klub, sampai sempat bermain profesional. Tapi di sisi lain, saya juga nongkrong dan nge-band dari zaman SMA,” bebernya.
Baca juga: Erick Ibrahim Junior, Wonderkid Dewa United Harapan Basket Indonesia
Nama Junas dikenal di skena underground sejak tergabung dalam band Popcorn yang memainkan musik hardcore sejak 1996. Kemudian akhirnya bergabung dengan Step Forward — salah satu pionir band hardcore lokal.
Di tengah hiruk-pikuk gigs, dia juga aktif bermain basket hingga level profesional bersama klub legendaris Satria Muda Mahaka.
“Sejak SD sudah main basket, masuk klub, sampai sempat bermain profesional. Tapi di sisi lain, saya juga nongkrong dan nge-band dari zaman SMA.” Junas Miradiarsyah, Direktur Utama IBL.
“Ada masa-masa di mana pagi saya latihan basket, malamnya latihan band. Weekend latihan basket agak longgar, tapi justru saat itu manggung makin sering,” kenangnya.
Namun seiring waktu, dunia korporasi mulai menyita perhatian Junas. Dia sempat bekerja di radio Prambors dan akhirnya bergabung dengan Mahaka Group pada 2014, menangani berbagai unit media.
Baca juga: Harits Prasidya, Pengacara yang Terjun Jadi Pemain Basket Profesional
Puncaknya, Junas dipercaya menangani Asian Games 2018 sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Direktur Utama IBL pada akhir 2019.
Dari Kobatama hingga Jadi Nakhoda Liga

Tak hanya di belakang meja, Junas pernah merasakan langsung atmosfer pertandingan basket profesional. Dia bermain di kompetisi Kobatama, cikal bakal IBL, pada periode 1999–2002 bersama Satria Muda.
Dia satu tim dengan nama-nama besar seperti almarhum Amran A Sinta, Dwui ‘Iboi’ Eriano, hingga Bayu Radityo.
Namun setelah menyelesaikan kuliah dan mulai fokus bekerja, Junas memilih menepi dari dunia atlet. “Kalau kuliah masih bisa bagi waktu, tapi begitu kerja, harus mulai memilih,” ujarnya.
Pengalamannya sebagai pemain di dunia bola basket menjadi bekal berharga saat dipercaya memimpin IBL. Sejak itu, Junas menahkodai transformasi liga, termasuk menghadapi tantangan besar pandemi COVID-19 pada musim pertamanya.
Baca juga: Ebrahim Lopez Enguio, Wajah Lama Semangat Baru Kejar Prestasi di IBL 2025
Musim 2020 menjadi momen krusial. IBL baru berjalan saat pandemi menyerang. Dalam waktu singkat, Junas harus membuat keputusan sulit: menghentikan liga demi keselamatan semua pihak.
“Kita yang pertama berhenti. Waktu itu belum ada benchmark, belum ada keputusan resmi pemerintah. Tapi saya pikir, ini liga harus kita rem dulu,” ujarnya.
Setelah berkali-kali mencoba memulai kembali namun gagal mendapat izin, akhirnya IBL menciptakan sistem bubble. Ini merupakan format tertutup dengan seluruh tim dan ofisial dikumpulkan dalam satu area yang steril.
Konsep ini kemudian menjadi acuan bagi cabang olahraga lain di Indonesia. “Kalau lihat sekarang, mungkin itu turning point-nya basket Indonesia. Saat olahraga lain belum jalan, IBL yang duluan bangkit,” ujar Junas.
Baca juga: 7 Tips Berolahraga saat Puasa, Tubuh Tetap Sehat dan Ibadah Pun Lancar
Pasca-pandemi, IBL mengalami lonjakan pertumbuhan signifikan. Melihat dari segi jumlah tim, penambahan peserta terus terjadi sejak 2021. Sponsor pun semakin banyak berdatangan. Bahkan, format pertandingan pun mulai diperbarui.
Salah satu kebijakan penting yang diterapkan Junas adalah penerapan sistem home and away sejak musim 2024. Format ini menjadi tonggak baru dalam upaya menjadikan IBL lebih profesional dan dekat dengan basis penggemar lokal di setiap kota.
“Dengan format home and away, atmosfer pertandingan lebih hidup. Setiap klub punya identitas kuat di kandangnya sendiri. Ini juga menumbuhkan fanbase baru dan meningkatkan ekonomi lokal,” jelasnya.
Menjaga Konsistensi dan Membangun Warisan

Meski tantangan masih banyak, Junas percaya perjalanan IBL masih panjang. “Kalau bicara usia, IBL masih muda. Dibanding NBA yang 75 tahun, atau liga Filipina yang 70 tahun, kita masih sangat muda tetapi kita terus berproses,” katanya.
Di balik keberhasilan IBL saat ini, tersimpan perjalanan unik seorang Junas Miradiarsyah dari bassis hardcore, kini memimpin kebangkitan basket Indonesia di arena profesional. Sebuah metamorfosis yang membuktikan bahwa passion, kerja keras, dan visi besar bisa menjembatani dua dunia yang berbeda.
“Kalau dulu saya pilih ninggalin basket untuk musik atau sebaliknya? Saya pilih dua-duanya jalan. Sekarang, walau musiknya pelan-pelan, semangatnya tetap sama. Energi itu yang saya bawa ke IBL.” tutup Junas. (Gerry Putra)