
LUDUS – Di balik sorak penonton dan kilau medali, ada kisah yang tak selalu tampak di layar kaca, tentang perempuan-perempuan perkasa yang memilih jalan keras: menjadi atlet. Bagi mereka, keringat adalah bahasa, dan tubuh adalah senjata. Mereka berlatih saat fajar masih menggigil, bertanding jauh dari rumah, dan pulang dengan otot yang lebam tapi hati yang utuh. Satu dari mereka bahkan sudah menjadi ibu, namun tetap berdiri gagah di podium, membuktikan bahwa cinta pada keluarga dan cinta pada negeri tak harus dipertentangkan.
ada yang memukul shuttlecock seperti menampar batasan;ada yang memanjat tebing seperti menaklukkan dunia yang sempit;ada yang mengangkat besi seberat stigma;ada yang meloncat di lapangan voli seperti menerjang stereotip;dan ada yang menggulingkan lawan di arena sambo, seolah berkata: perempuan juga bisa bertarung.
Kini, tongkat estafet itu diteruskan. Tak hanya oleh mereka yang bermain di lapangan bulutangkis atau arena panahan, tapi juga oleh perempuan-perempuan yang memilih jalan terjal: olahraga ekstrem, bela diri, dan cabang-cabang yang menuntut lebih dari sekadar keberanian.
Mereka bukan hanya atlet. Mereka adalah cerita—tentang tubuh yang lelah tapi tak pernah menyerah, tentang kekuatan yang lahir bukan dari otot, tapi dari hati yang rela.
Mereka tak sekadar berprestasi. Mereka menantang persepsi. Mereka bukan pengecualian, mereka adalah bukti bahwa ruang bernama “perempuan kuat” itu nyata. Siapa mereka? Mari kita kenali satu per satu, para perempuan yang menjadikan keringat sebagai bahasa perlawanan, dan prestasi sebagai bentuk cinta paling lantang, yang dipilih oleh ludus.id karena prestasi fenomenalnya sepanjang tahun 2024 dan awal tahun ini.
Lima Besar Perempuan Perkasa di Panggung Olahraga!
1. Desak Made Rita (Panjat Tebing): Memanjat Langit dari Bulengleng

Desak Made Rita Kusuma Dewi pernah merasa takut saat pertama kali menjejakkan kaki di dinding panjat. Ia masih bocah kala itu, baru kelas dua SD, dan hanya ikut sang bibi ke Taman Kota Singaraja. Dinding itu menjulang diam, menantang. Tapi begitu tangannya menyentuh permukaannya yang kasar, ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya: keberanian.
Sejak hari itu, dinding-dinding tinggi bukan lagi tempat yang menakutkan. Justru di sanalah ia merasa hidup. “Awalnya ikut-ikutan. Tapi ternyata nyaman,” ujarnya suatu waktu, dengan tawa tipis dan mata yang menyimpan kilat tekad.
Desak tumbuh menjadi pemanjat yang tak kenal gentar. Tubuhnya ramping, gerakannya ringan dan presisi. Ia melesat di lintasan speed seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya—cepat, terukur, dan mematikan. Ia tak melawan orang lain. Ia melawan dirinya sendiri. “Saya tidak melihat lawan. Saya hanya ingin lebih baik dari Desak yang kemarin,” katanya.
Itulah filosofi yang ia pegang. Bukan hanya di arena, tapi dalam hidup.
“Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bandingkan dirimu dengan dirimu yang kemarin.”
Falsafah itu bukan kalimat motivasi di dinding kamar, melainkan panduan yang ia praktikkan setiap hari. Saat jemu latihan, saat mental diuji di kompetisi internasional, atau saat ia harus membagi waktu antara karier dan pendidikan.
Ia pernah dianggap remeh. Panjat tebing dianggap bukan dunia perempuan. Terlalu ekstrem, kata sebagian orang. Tapi Desak tak peduli. Ia justru mematahkan semua batas itu dengan catatan waktu dan medali. Emas di Kejuaraan Dunia IFSC 2023 di Swiss, emas di Asian Games Hangzhou 2023, dan yang paling membanggakan: mewakili Indonesia di Olimpiade Paris 2024.

Desak Made Rita saat tampil di Olympic 2024 Paris (Foto: NOC Indonesia)
Dari Buleleng, Desak membawa pesan yang sederhana, tapi kuat: mimpi tak butuh tempat megah untuk tumbuh. Cukup keyakinan, keberanian, dan satu langkah kecil yang terus dipijak setiap hari.
Baca juga: Desak Made Rita Kusuma Dewi, Sang Perempuan Laba-laba dari Bali
2. Desiana Syafitri (Sambo): Perempuan Baja di Negeri Asing

“Sebagai petarung, saya tidak pernah ragu meraih prestasi sekaligus meraih tiket ke Kejuaraan Dunia Sambo 2025,”

3. Megawati Hangestri Pertiwi (Bola Voli): Pulang dengan Perjuangan dan Cinta


Meski Red Sparks gagal meraih gelar juara setelah kalah dramatis dari Pink Spiders di final, Megawati tetap menunjukkan semangat juang yang tinggi. Dalam pesan perpisahannya, ia menulis:
“Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku cuma mau bilang aku sangat mencintaimu saudari-saudariku. Sampai bertemu lagi. Terima kasih.”
Kini, dengan semangat baru, Megawati siap memberikan kontribusi terbaiknya untuk Gresik Petrokimia di Proliga 2025, membawa pengalaman internasionalnya untuk menginspirasi rekan-rekan setim dan para penggemar voli di Indonesia.
Megawati Hangestri Pertiwi, pevoli nasional Indonesia, telah menunjukkan bahwa perjuangan sejati bukan hanya tentang kemenangan di lapangan, tetapi juga tentang dedikasi, semangat, dan makna di balik setiap langkah.
Baca juga: 5 Fakta Megawati Hangestri: Di Ambang Pintu Keluar Red Sparks, Jadi Rebutan Klub Eropa
4. Nurul Akmal (Angkat Besi): Angkatan Perempuan Tangguh


“Kalau itu (ejekan teman) ya gak usah dipeduliin, kalau yang udah lalu gak perlu dibahas lagi, ini kan udah Olimpade 2024.”
5. Leani Ratri Oktila (Para Badminton): Ratu yang Tak Pernah Menyerah

Bersama Hikmat Ramdani ketika usai meraih medali emas Paralympic 2024 Paris (Foto: NPC Indonesia)

Leani kecil mengenal bulu tangkis dari keluarganya. Sejak usia tujuh tahun, raket dan shuttlecock sudah menjadi bagian dari kesehariannya. Ia tumbuh sebagai atlet konvensional dan mewakili provinsi dalam berbagai turnamen. Namun hidup, seperti juga pertandingan, tak selalu berjalan sesuai skenario.
Pada 2011, Leani mengalami kecelakaan sepeda motor yang merusak kakinya. Akibatnya, panjang kaki kirinya menjadi berbeda. Bagi sebagian orang, ini bisa menjadi akhir dari segalanya. Tapi tidak bagi Leani. Ia memilih melanjutkan hidupnya — meski harus dengan cara yang baru.
“Saya pernah merasa semuanya berakhir. Tapi saya belajar, hidup bukan soal apa yang hilang, tapi tentang apa yang bisa kita bangun dari yang tersisa.”
Kutipan itu adalah cermin dari jiwanya. Tahun 2013, Leani bergabung dengan Komite Paralimpiade Nasional Indonesia. Sejak itu, dia menulis ulang takdirnya — bukan sebagai mantan atlet, tapi sebagai pahlawan baru Indonesia di arena yang berbeda.
Ia disebut sebagai “Ratu Para Badminton Indonesia” — gelar yang tak sekadar soal jumlah medali, tapi tentang keteladanan dan dedikasi.
Tak banyak yang tahu, dalam setiap turnamen, Leani selalu membawa bendera Merah Putih di dalam tasnya.
“Bendera itu bukan hanya simbol negara, tapi juga pengingat bahwa saya bermain bukan hanya untuk diri saya. Saya bermain untuk semua orang yang pernah merasa kalah tapi ingin bangkit.”
Pada 2018, Badminton World Federation (BWF) menobatkannya sebagai Female Para-Badminton Player of The Year. Sebuah pengakuan global atas ketekunan dan kegemilangan yang dibangun dari puing-puing musibah.
Kisah Leani adalah tentang membalikkan keterbatasan menjadi kekuatan, luka menjadi cahaya. Di setiap lompatan dan pukulannya di lapangan, terselip pesan sederhana namun kuat: bahwa manusia bisa bangkit — bahkan dari titik terdalam sekalipun.
Laporan: Ilham Sigit Pratama