Silat Betawi Beksi, Warisan Seni Bela Diri yang Bertahan di Tengah Modernisasi Jakarta

Pesilat cilik sedang memamerkan jurus silat Beksi-nya dalam suatu acara. (Foto/Lembaga Kebudyaan Betawi)

LUDUS – Silat Betawi, khususnya Beksi merupakan kemewahan lokal yang mewarnai sejarah Kota Jakarta dan hidup di tengah modernisasi kota. Silat Betawi tercipta dari akulturasi budaya berbagai suku, etnis, dan golongan.

Warisan silat Betawi ini sejatinya bukan sekadar bela diri, tapi juga simbol identitas dan kebanggaan warga Jakarta. Salah satu aliran yang paling mencolok dari silat Betawi adalah aliran Beksi, yang masih bertahan di tengah gempuran berbagai seni bela diri dari luar negeri.

Silat Betawi, atau yang lebih dikenal sebagai maen pukulan, bukanlah sekadar produk tradisi. Terbentuk dari akulturasi panjang beragam suku dan etnis yang melebur membentuk wajah Jakarta masa lalu.

Proses peleburan budaya tersebut akhirnya membentuk satu entitas baru, yakni etnis Betawi. Dalam rentang sejarah antara tahun 1815 hingga 1893, etnis Betawi tak hanya membangun komunitas, tapi juga menyerap dan melahirkan seni bela diri yang khas.

Baca juga: Mengenal 6 Perguruan Pencak Silat di Nusantara, Warisan Seni Bela Diri Leluhur yang Mendunia

Dikutip dari laman Lemabaga Kebudayaan Betawi, Silat Betawi merupakan wujud nyata kecerdasan lojal. Sayangnya, saat ini Silat Betawi sudah mulai ditinggalkan, meskipun anak muda Betawi di beberapa daerah mulai menghidupkan kembali silat ini.

Tak banyak yang tahu, pencak silat Indonesia, termasuk aliran-aliran silat Betawi, telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia oleh UNESCO pada Desember 2019 di Kolombia. Pencak silat dinilai memiliki kedalaman filosofi, kekayaan gerak, dan nilai spiritual yang kuat.

Dua pilar utama yang membentuk pencak silat sebagai warisan budaya adalah kemampuan bela diri dan kekuatan mental-spiritual. Meskipun mendapat pengakuan dunia, eksistensi silat Betawi justru makin terpinggirkan di negeri sendiri.

Anak-anak muda Jakarta kini lebih familiar dengan taekwondo atau karate, dua bela diri asing yang mudah dijumpai di sekolah-sekolah maupun pusat kebugaran. Sementara itu, silat Betawi harus puas menjadi tontonan sesekali di acara khitanan atau pernikahan adat.

Baca juga: Silat Harimau Minangkabau dan Gebu Minang Gelar Festival Pandeka Batagak 2024 Tingkat Nasional

Padahal, silat Betawi bukan sekadar tradisi, namun bagian dari perjuangan. Pada masa penjajahan, banyak jawara Betawi yang turun langsung ke gelanggang pertempuran demi kemerdekaan Indonesia.

Nama-nama seperti Entong Gendut dari Condet, Guru Mahmud dari Menteng, Guru Mujid dari Tanah Abang, hingga Mualim Syafi’i Hazami dari Gandaria adalah deretan pendekar yang pernah menggetarkan musuh dengan jurus-jurus silat.

Menjaga Eksistensi Beksi

Dua pesilat Beksi sedang beradu jurus. (Foto/Lembaga Kebudayaan Betawi)

Salah satu bentuk warisan yang masih dijaga sampai saat ini adalah aliran Beksi. Sejarahnya, silat ini awalnya diciptakan Lie Tjeng Hok (1854-1951), petani Tionghoa peranakan yang mencoba beragam ilmu beladiri dari guru-guru silat Betawi, seperti Ki Jidan dan Ki Miah.

Bela diri ini dinamakan Bhe Si yang dalam Bahasa Hokkian memiliki arti Kuda-kuda. Bela diri ini berkembang di Kampung Dadap, Kosambi, Tangerang. Lie Tjeng Hok juga mengajarkan Beksi kepada murid Betawi-nya, Ki Muharli. Dia menurukan Beksi kepada H Gozali bin H Gatong yang juga mengajarkan Beksi di Petukangan, Jakarta Selatan.

“Pada pertengahan abad 19 itu, secara perlahan Silat Beksi/maen pukulan Beksi menyebar ke seluruh wilayah Batavia dan daerah sekitarnya serta mengalami perkembangan jurus dan variasi gerakan,” ujar Andi Yahya Saputra, penggiat budaya Betawi, dikutip dari laman Lembaga Kebudayaan Betawi.

Baca juga: 5 Manfaat Ikut Latihan MMA untuk Remaja, Membentuk Pribadi Berkarakter Tangguh

Pada era kini, Beksi mulai ditata sebagaimana layaknya organisasi bela diri modern. Penyebaran Beksi yang sporadis harus diorganisir agar menjadi perguruan silat yang terstuktur dan teratur.

“Saat ini Beksi sebagai seni silat tradisional Betawi dan aliran ilmu silat yang cukup tua yang berada di wilayah Jakarta dan sekitarnya di pimpin oleh H Agus A Asenie, H Nuorzaman Ishak, H Machtum dan jajarannya yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan pemuda Betawi,” jelas Andi Yahya.

Selain Beksi, silat Betawi memiliki beragam aliran lainnya yang tak kalah menarik. Silat Sabeni dari Tanah Abang, misalnya, dikenal dengan gerakan cepat dan cekatan. Cingkrik dari Rawa Belong terkenal dengan gerakan yang menyerupai hewan dan sangat lincah.

Dua pesilat Beksi sedang tampil menunjukkan jurus. (Foto/Lembaga Kebudyaan Betawi)

Ada Paseban dari Senen, serta Cimacan yang dibawa dari Banten dan berkembang di wilayah Lebak Bulus. Menurut buku Maen Pukulan Khas Betawi karya GJ Nawi, terdapat lebih dari 300 aliran silat Betawi yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya.

Mengingat peran penting silat dalam sejarah dan budaya Betawi, perlu upaya konkret dari pemerintah daerah hingga komunitas untuk kembali mempopulerkannya. Mengingat Beksi bukan hanya sekadar Silat Betawi, di dalamnya, tersimpan jati diri yang tak ternilai harganya.

Pengenalan silat Betawi di sekolah-sekolah, pelatihan di pusat kebudayaan, hingga festival silat berbagai aliran bisa menjadi langkah awal agar warisan ini tetap lestari dan relevan.  (*)

Laporan: Gerry Putra


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.