Suster Linda Sim, Melayani Pasien Kanker melalui Taekwondo

Credit foto : worldtaekwondo.org
Suster Linda Sim tampil dalam kejuaraan taekwondo.

Sulit mencari korelasi antara seni bela diri taekwondo dengan kehidupan pelayanan penuh waktu yang dijalani pengabdi jalan Tuhan seperti biarawan. Yang satu terkesan keras nan garang. Sedangkan, satunya lagi lekat dengan kesan lemah lembut.

Namun, tidak bagi suster Linda Sim. Di dalam diri biarawati Katolik berusia 68 tahun itu, cinta akan Sang Pencipta dan taekwondo adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

“Yesus adalah cinta pertama saya dan taekwondo adalah gairah saya karena memberi kesempatan bagi saya untuk berjumpa dengan banyak orang dengan cara yang tidak diajarkan di gereja,” ucap Linda.

Biarawati yang tergabung dalam ordo religius Misionaris Fransiskan Keibuan Ilahi itu bertugas sebagai koordinator misi para suster di Singapura. Namun, di waktu luangnya, semua atribut keagamaannya dilepas dan digantikan dengan seragam taekwondo.

Tidak akan ada yang menyangka, bila melihat sekilas wajah teduh, lembut katanya, dan tinggi tubuhnya yang hanya 149 cm, suster Linda ternyata adalah pemegang sabuk hitam taekwondo. Nama sang suster melejit setelah dia menyabet gelar juara dunia taekwondo poomsae di Goyang, Korea Selatan pada April 2022.

Poomsae adalah rangkaian teknik gerakan dasar serangan dan pertahanan diri yang dilakukan melawan rival imajiner dengan mengikuti diagram tertentu.

Di kejuaraan dunia tersebut, Suster Linda yang turun di perlombaan recognize poomsae kategori usia di atas 65 tahun, sukses mengalahkan enam lawannya.

Suster Linda layak jadi juara karena gerakannya yang begitu luwes, kontrol tenaga, serta keseimbangannya yang menakjubkan untuk orang berusia lanjut. Ia mempraktikkan jurus koryo, keumgang, taebaek, pyongwon, dan sipjin dengan fasih dan membuat juri sepakat untuk memberikan nilai yang tinggi.

Linda pun jadi orang Singapura pertama yang meraih gelar prestisius tersebut.

Suster Linda begitu bungah. Inilah gelar terbaik yang ia raih selama menggeluti taekwondo 40 tahun terakhir.

“Saya merasa ada di puncak dunia karena saya telah mencapai tonggak penting dalam perjalanan taekwondo saya,” ucap Linda.

Credit foto : catholicweekly.com
Suster Linda Sim berlatih taekwondo.

Cinta taekwondo

Saat masih kanak-kanak, Linda Sim sudah merasa seni bela diri ada dalam jiwanya.

“Saya bertubuh mungil, jadi saya ingin belajar bela diri agar tidak perlu membawa senjata. Saya mau jadi senjata,” kenang Linda.

Dia pun bercita-cita menjadi prajurit. Namun, ketika usianya sudah cukup, tidak ada lowongan di lapangan untuk prajurit perempuan. Hanya tersedia pekerjaan untuk bagian administrasi.

Singkat cerita, Linda kemudian mulai berlatih taekwondo di sebuah gereja lokal pada 1971.

“Saya pikir jika belajar bela diri, saya bisa jadi polisi, tetapi tinggi dan berat badan saya kurang. Saya berusaha untuk tumbuh, tapi tidak bisa,” ucap Linda.

Delapan tahun kemudian, kontemplasi dan jalan hidup membuat dirinya memutuskan untuk bergabung dengan Biarawati Fransiskan.

“Kenapa tidak bergabung dengan tentara Tuhan? Jika itu bukan pelayanan, apa lagi?” kenang Linda.

Suster Linda kemudian belajar untuk hidup dalam kemiskinan, ketaatan, dan kesucian. Sebagai misionaris Fransiskan, ia dikirim ke Zimbabwe dan Inggris.

Setelah pelayanan di Inggris selama 17 tahun dan tiga tahun di rumah sakit di Zimbabwe, Linda pulang ke Singapura pada 2004. Ia ingin merawat ibunya yang menderita alzeimer.

Saat kembali ke Singapura, Linda mengetahui ada program kerja sama yang dilakukan oleh Federasi Taekwondo Singapura dengan RS Mount Alvernia untuk mengajar taekwondo kepada anak-anak penderita kanker.

Suster Linda Sim

Anak-anak itu kebanyakan malah hanya bermain ular tangga. Mengetahui hal tersebut, suster Linda menawarkan diri untuk jadi pelatih.

Linda lantas melatih 20 orang penderita tumor otak dan leukemia dalam kelas mingguan. Linda dengan sepenuh hati melayani dan melatih mereka.

“Saya tinggalkan taekwondo untuk jadi seorang biarawati dan saya pikir sekarang telah bereuni (dengan taekwondo),” ucap Linda.

Keajaiban kerap terjadi, contohnya kepada murid berusia 12 tahun yang mengidap tumor otak dan divonis punya sisa hidup 6 bulan. Namun, ternyata sang murid bertahan hidup, bahkan dari awalnya menggunakan kursi roda hingga bisa berjalan kaki.

Ada pula murid yang mengalami buta tuli parsial, tetapi berhasil mendapat sabuk hitam berkat bimbingan Linda. Pamela Lim, salah satu orang tua murid mengatakan suster Linda adalah teladan yang baik bagi anak-anak.

“Kami dapat melihat semangat dan komitmennya terhadap taekwondo dan semua pekerjaan yang dia lakukan sebagai biarawati,” tutur Pamela.

Suster Linda seolah mengafirmasi itu. Jika kebanyakan biarawati mengajar katekismus kepada anak-anak, Linda percaya dirinya mampu menyebarkan nilai dan keuntungan agama melalui pengajaran taekwondo tanpa berkhotbah.

“Ini memberikan saya kedamaian dan kepuasan. Ini adalah penginjilan tanpa harus mengajak ke gereja,” jelas Linda.

Credit foto : Federasi Taekwondo Singapura
Suster Linda Sim memamerkan medali usai tampil dalam kejuaraan taekwondo.

Tidak ada kata terlambat

Awal menekuni taekwondo, Linda Sim memilih kyorugi atau seni tarung. Namun, Ia mengalami cedera. Maka, ia beralih menekuni poomsae.

Linda baru mengikuti kejuaraan internasional taekwondo di Vladivostok, Rusia, pada 2011. Ia berhasil meraih medali internasional perdananya, yaitu pegunggu di Kejuraan Dunia di Taipei, Taiwan pada 2018.

Kini Linda sudah mengoleksi lebih dari 30 medali. Ia juga sudah tersertifikasi sebagai wasit untuk kyorugi dan poomsae.

Suster Linda menyadari kondisi tubuhnya yang telah renta. Ia juga mengalami cedera di kedua lututnya. Cedera itu sempat membekapnya sebelum Kejuaraan Dunia 2022.

“Berkat semangat taekwondo, saya bisa mengatasi halangan rasa sakit. Ini mengajarkan saya untuk terus maju,” tegas Linda.

Setelah mendapat emas di kejuaraan dunia, Linda berpikir sudah cukup. Namun, sepertinya keputusan untuk pensiun harus ia tunda. Alasannya, federasi taekwondo dunia berencana menggelar perlombaan untuk kategori di atas 70 tahun.

“Kenapa tidak?” kata Linda.

Di atas itu semua, Linda sangat bersyukur kepada Tuhan atas apa yang terjadi dalam hidupnya.

“Ketika saya bertemu Tuhan kelak, saya akan ‘kyung nae’, yang adalah perintah untuk membungkuk di dalam taekwondo. Dan, saya akan mengatakan ‘Terima kasih, Kekasihku. Aku sudah pulang’,” tutup Linda.


Suka dengan artikel ini?

Bagikan Artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.